Judul
Buku: Etika Sufi Ibn Al-Arabi
Penulis: Dr. H.
Mukhlisin Saad, M.Ag.
Penerbit: CV. Mandiri
Tahun: 2019
Jumlah Halaman: 288
Pembahasan
mengenai etika bukanlah suatu kajian yang baru, telah banyak dibahas sejak
manusia mewacanakan tata cara hidupnya hingga kini. Namun, jika ditelusuri
lebih jauh, untuk pertama kalinya ‘etika’ dibahas oleh para filsuf Yunani
dengan kata lain dibakukan untuk memberikan petunjuk serta arahan bagaimana
menjalani kehidupan yang baik dan benar; bagaimana suatu kehidupan itu lebih
bernilai dan bermakna bagi sesama.
Tak
berlebihan jika Haji Abdul karim Amrullah yang familiar dengan Buya Hamka
pernah mengatakan “Jika hidup hanya sekadar hidup, kera di rimba juga hidup,
kalau kerja sekedar kerbau di sawah juga bekerja”.
Pembahasan
etika dalam Alquran dan Hadis sendiri tidaklah secara rinci dibahas. Meski
demikian, bukan berarti sumber utama islam mengabaikan etika begitu saja, tapi
sebisa mungkin umat Islam mampu menginterpretasi konsep-konsep moral yang
terkandung dalam Alquran dan as-sunnah menjadi pemikiran teoritis dan kritis
terkait moral untuk menjawab dinamika persoalan yang terjadi.
Dalam buku
berjudul “Etika Sufi Ibnu Arabi”, Mukhlisin Sa’ad memberikan penguraian lebih
jauh terkait konsep etika yang digagas Ibnu Arabi. Jika Majid Fakhry dalam
bukunya Ethical
Theories in Islam mengklasifikasikan empat macam tipe etika
dalam Islam (oralitas skriptural, teologis, filosofis, religious), Sa’ad justru
memberikan penambahan satu tipe lagi yaitu etika sufi
Jika ditilik
secara umum, sebenarnya masuk dalam kategori etika religius. Namun, itu tidak
sepenuhnya benar, karena ajaran kaum sufi yang berakar pada pengalaman rohani
turut andil memberikan implikasi etis dan mempunyai signifikansi moral.
Dengan
demikian, etika yang berkembang dalam lingkungan para sufi patut diberi ruang
dan digali lebih jauh karena mempunyai khas tipologinya tersendiri. Hal ini
layak disebut sebagai sistem etikanya melalui pencarian Tuhan sebagai puncak
daripada etikanya dengan beraneka macam konsepnya, dari ittihad,
hulul, hingga wahdat al-wujud dan sejenisnya.
Dalam
anggapan umum Ibnu Arabi dikenal sebagai sufi besar yang corak tasawufnya
unitarian dengan konsep wahdat al-wujud-nya, di mana mahluk dipandang identik
dengan Khaliq, cenderung mengabaikan hukum-hukum keagamaan. Ajaran semacam ini
dipandang antinomian dan
tidak mengindahkan moralitas.
Sebagaimana
dituduhkan Ibnu Taimiyah, Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Muhammad Yusuf Musa, dan
Taufik at-Tawil yang menyatakan tasawuf unitarian dipandang antinomian yang
dikatakan cenderung eksesif dan abai hukum-hukum keagamaan, dan tidak
mengindahkan moralitas. Buku ini menolak keabsahannya.
Bagaimana pun
Ibnu Arabi menyuruh para penempuh jalan sufi untuk tidak abai terhadap syariah.
Ibnu Arabi mengajak para penempuh jalan sufi untuk tidak abai terhadap syariah.
Dlam banyak karyanya, Ibnu Arabi dalam membahas segala pokok permasalahan,
mulai dari ontologi-metafisikanya, epistemologi hingga aksilogi atau etika dan
estetika, tidak pernah luput untuk menghadirkan syariat sebagai sumber
pengetahuan dan kebenaran
Lebih lanjut,
Sa’ad dalam buku ini menawarkan gagasan bagaimana sebenarnya wahdat
al-wujud Ibn Arabi ini menjadi muara konsep etikanya. Hingga
sejauh mana sosok pemikiran Ibnu Arabi dapat dihadirkan kembali kontribusi dan
relevansinya konteks sekarang. Mengingat akhir-akhir ini etika terus mengalami
degradasi di setiap lini kehidupan.
Jika peta
pemikiran etika Sokrates yang spritualistis cenderung spiritualistik-metafisik,
pemikiran Plato yang idealistik sehingga kurang berpijak pada kenyataan, dan
pemikiran Aristoteles cenderung mekanistis-biologis. Maka Ibnu Arabi
menjadikan wahdat
al-wujud sebagai pondasinya dengan memberikan penekanan yang
kuat pada perlunya harmoni, kesamaan (musawah), kesepahaman (kalimatun sawa’),
moderasi (wasathiyah),
toleransi (tasamuh)
dan keselarasan dalam kehidupan bersama dimana semua dipandang berasal dari
Allah dan akan kembali padaNya.
Wahdat
al-wujud pada dasarnya bahwa wujud pertama-tama adalah tunggal, satu, atau
esa. Dengan kata lain bahwa hanya Allah yang dapat disebut wujud secara haqiqi,
tidak ada wujud disebut wujud kecuali Allah itu sendiri. Tidak hanya menekankan
keesaan wujud, melainkan menekankan keanekaan realitas.
Sedangkan
alam fenomenal yang beraneka ragam ini hanyalah manifestasi (tajalli)
diri-Nya. Terjadinya tajalli Tuhan pada alam karena dasar cinta untuk
dikenal dan ingin melihat diriNya melalui alam. Dengan demikian Alam bagi Ibn
Arabi adalah cermin dari Allah (wujud). Ibarat kata seseorang berdiri di depan
banyak cermin yang ada di sekelilingnya, Tuhan adalah esa tetapi bentuk atau gambarNya
banyak, sebanyak cermin yang memantulkan bentuk atau gambar itu.
Selanjutnya,
alam empiris yang serba-ganda ini berada dalam wujud yang pecah-pecah karena
tidak mampu menampung citra Tuhan secara utuh dan sempurna. Alam ini dalam
bentuk tanpa ruh atau laksana cermin buram yang belum mampu memantulkan gambar
Tuhan secara sempurna.
Kejelasan dan
kejernihan gambar bergantung pada kualitas kebeningan cermin itu, semakin
bening suatu cermin, semakin kentara kejelasan gambar yang dipantulkannya.
Citra Tuhan baru terlihat sempurna dan utuh pada Adam (manusia) sebagai cermin
yang terang karena tidak hanya terdiri dari jasad semata melainkan juga ruh
yang bersemayam di dalamnya.
Pembicaraan
mengenai jiwa selalu hadir dalam setiap konsep etika, baik oleh filsuf, sufi,
atau cendekia lainnya. Entah itu sebagai sumber dari prinsip moral atau sebagai
aksesoris semata. Bagi Ibn Arabi manusia merupakan mahluk yang berada di antara
dua sisi yang saling berlawanan, yakni tubuh bagian dari alam, (at-thabiah)
yang gelap dan ruh yang bercahaya.
Sebagaimana
dalam syairnya:
Jiwa terletak
antara yang gelap dan yang bercahaya. Sehingga jiwa sangat mungkin tumbuh dan
berkembang sesuai dengan hubungan antara keduanya. Di satu sisi jiwa manusia
berpotensi mengungguli malaikat dengan menerima semua sifat Tuhan dalam medium
yang begitu lengkap. Di sisi lain, ia juga berpotensi turun derajat yang bahkan
di bawah derajat binatang sehingga hilang derajat kemanusiaannya.
Kendati
demikian Ibn Arabi mengatakan jiwa sebagai sumber prinsip moral yang bisa
dicapai, manusia karena jiwa yang dituntut untuk bersifat dengan akhlak yang
mulia.
Argumen-argumen
yang digunakan begitu memukau, konsisten dan komprehensif dengan kokoh berpijak
pada wahdat
al-wujud.. Sekali lagi cakupan konsep etikanya hingga praksisnya
tidak lepas dari konsep wahdat al-wujudnya
Dengan tetap
berpegang teguh pada kesatuan yang beragam “segala sesuatu berasal dari dan
kembali kepadaNya” sehingga buah pikirnya dapat menjelma ke berbagai bentuk.
dalam bentuk etika keilmuan misalnya muncul kemungkinan korelasi agar tidak ada
lagi terjadi eksploitasi alam atas nama keilmuan yang hanya memuaskan
keserakahan serta hawa nafsu tanpa peduli dampak negatif terhadap sekitar.
Buku ini akan
menjadi pilihan yang tepat untuk anda yang ingin mengenal lebih dekat dengan
Ibnu Arabi khususnya dalam etika sufinya yang hingga saat ini masih ditemukan
signifikansi dan relevansinya untuk kembali digaungkan dalam rangka menjawab
persoalan tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan.
Download ebook Etika Sufi Ibn
Al-Arabi pdf via Google Drive:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar