Judul Buku: Kosmologi Islam dan Dunia Modern
Penulis: William C. Chittick
Penerbit: Mizan
Tahun: 2010
Jumlah Halaman: 216
Berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan berikut: Apakah mungkin
untuk menjadi seorang ilmuwan dan seorang Muslim sekaligus menjelaskan dan
memahami kosmos dan jiwa sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Qur’an dan sunnah
? (h.9); Apa sebenarnya batas potensi jiwa? (h.112); Dapatkah kita tahu makna
dari alam semesta dan objek apapun di dalamnya tanpa mengetahui al-Ḥaqq (the
Real)? (h.129). Jika pertanyaan-pertanyaan ini yang muncul dalam pikiran kita,
maka karya William Chittick ini layak dibaca.
Sebuah buku yang pendek namun padat yang ditulis oleh William Chittick, seorang
pakar islam dari Barat yang telah menghabiskan empat dasawarsa dalam studi
Islam, khususnya tradisi filsafat dan sufi, dapat dikatakan mampu menghidupkan
kembali studi kontemplatif terhadap intelektual islam saat ini, yang
memungkinkan para penasehat intelektualnya (Rumi, Ibn ‘Arabi, Mulla Sadra, Ibnu
Sina dan al-Ghazali) berbicara tentang wawasan mereka yang relevan dengan
konteks modern, terutama peran yang dimainkan oleh ilmu pengetahuan dalam Zeitgeist
kontemporer (viii). Latar belakang intelektual dari apa yang telah ia tuliskan
adalah menghilangnya institusi pendidikan tradisional yang cenderung
mengarahkan muridnya untuk mendedikasikan hidup mereka bagi pencarian
pengetahuan dan kebajikan. Chittick sendiri memilih judul “Ilmu Kosmos, Ilmu
Jiwa”, justru menyoroti ilmu pengetahuan dan pada saat yang sama membawa
istilah “jiwa”, sebagai pusat dari tradisi filsafat (ix).
Di jantung buku ini terdiri dari tujuh bab, semua kecuali satu dari yang
awalnya menjadi premis dasar dari Chittick adalah apa yang disepakati oleh
pembelajaran intelektual dan pembelajaran transmisi, yakni Allah adalah satu,
dan Dia adalah asal dari segala sesuatu. Inilah Tauhid. Yang menjadi pengamatan
utamanya adalah bahwa tradisi intelektual saat ini tidak sama dengan tradisi
intelektual terdahulu, dan ini memberi sesuatu untuk ditawarkan. (h. 8-9). Hal
ini dibandingkan dengan dunia Islam pramodern, ketika pemikir besar dan kaum
intelek menghabiskan seluruh hidup mereka mencari pengetahuan yang lebih dalam
tentang Tuhan, alam semesta dan jiwa. Dan pencarian itu menjadi tugas yang tak
pernah berakhir. Jadi, untuk mendapatkan kekayaan dari warisan intelektual kita
harus mempersiapkan diri untuk memahami, dan olehnya menuntut sebuah upaya
pencarian dan pelatihan. Seseorang tidak dapat menerima tauhid begitu saja yang
berdasarkan imitasi, sebab Iman sejati tidak pernah menjadi keyakinan buta,
melainkan komitmen dengan apa yang benar-benar seseorang ketahui adalah benar.
Melalui karyanya, Chittick menyarankan bahwa untuk pulih atau bangkit dari apa
yang ia sebut sebagai “kebodohan ganda” adalah mengakui bahwa Anda tidak tahu,
sehingga Anda dapat beranjak “mencari ilmu”.(h.19)
Pada empat Bab pertama, seseorang dapat menemukan diagnosa yang tajam dan jelas
tentang kaum Muslim kontemporer jika ingin muncul sebagai cendekiawan yang
obyektif. Chittick pun demikian dan bertanya-tanya: apa yang salah? Tradisi
intelektual sangat penting untuk kelangsungan hidup agama, karena sesorang
tidak bisa memikirkan Islam tanpa secara bersamaan memahami perintah al-Qur’an
yang menuntut seorang Muslim untuk selalu berpikir, merenung, dan merenungkan.
Tugas pertamanya menurut Chittick adalah untuk mengidentifikasi dua mode
mengetahui dalam tradisi Islam, sebagai “transmisi” (taqlid) dan “intelektual”
(taḥqīq).
Jika yang pertama bersifat diiturunkan dari generasi ke generasi, maka yang
terakhir adalah dipelajari dengan melatih pikiran dan membersihkan hati.
Chittick berpendapat bahwa mode taqlid sering disalah mengertikan oleh Muslim
dan non-Muslim. Baginya, ilmu pengetahuan modern memang dibangun atas
konsensus, bukan pengetahuan intelektual. (h.21). Selain itu, ia berpendapat
bahwa kebenaran pembelajaran yang ditransmisikan tidak bergantung pada
pembuktian dengan dirinya (self evident), tetapi lebih pada otoritas nabinya
dan para keberadaan penerusnya. Dan bagi ilmuwan modern yang membuat penemuan
baru, yang telah “membenarkan” dan “merealisasikan” ilmu untuk dirinya sendiri,
tidak akan disebut realisasi (taḥqīq) oleh para intelektual muslim karena tidak
cukup meluas masuk ke kedalaman jiwa dan ruh untuk mengenali sifat sesungguhnya
dari sesuatu. Pengetahuan intelektual, justru adalah kunci tradisi intelektual
Islam. Hal ini diperoleh oleh subjek yang mengetahui secara langsung.
Meskipun mungkin dalam pencariannya memerlukan guru, tetap pengetahuan ini
akhirnya tidak tergantung pada otoritas guru untuk verifikasi dan keberadaan
eksistensinya, melainkan berada di hati dan pikiran orang yang berpengetahuan
atau pencari itu sendiri. Ini adalah temuan, bukan untuk mengumpulkan informasi
atau apa yang kita sebut “fakta”. Sebab semakin banyak fakta yang mereka
ketahui, semakin sedikit signifikansi yang mereka dapatkan dari fakta tersebut
dan juga hakekat diri mereka sendiri dan dunia di sekitar mereka.
Tentang hal ini, Chittick mengutip ungkapan Ibn Yaqzan (c.1775) :
“Pencarian ilmu yang diwajibkan oleh Nabi kepada setiap mukmin, bukannya
pencarian informasi atau sekedar “hidup yang lebih baik”. Tetapi, pencarian
makna dan pemahaman Qur’an dan hadis, yang melalui pemahaman tersebut merupakan
pengetahuan diri, kesadaran diri dan mengenal tanda-tanda Tuhan di ufuk (alam
eksternal) dan dalam diri. Hal ini merupakan pencarian hikmah dan penguasaan
diri, bukannya kontrol dan manipulasi atas dunia dan masyarakat” (h.30)
Adapun Realisasi yang dimaksud memiliki empat domain: Metafisika
(Allah sebagai realitas awal dan akhir), kosmologi (penampilan dan peniadaan
alam semesta), psikologi (apa artinya menjadi manusia) dan etika (kebijaksanaan
praktis dan hubungan antar individu). Dan pusat dari domain tersebut adalah
diri (nafs) atau jiwa. Dengan demikian, pengetahuan yang ditransmisikan harus
berjalan seiring dengan pengetahuan intelektual. Dalam pengertian ini, intelek
adalah jiwa yang telah mengetahui dan menyadari potensi penuhnya (h.29).
Chittick juga menyebutkan 10 poin yang dapat membantu kita memahami apa yang
coba di verifikasi, direalisasikan oleh para intelektual Muslim pramodern
(h.27).
Islam dapat didefinisikan dalam satu kata: Tauhid. Dan karena tauhid pada
dasarnya adalah pemikiran, banyak buku yang menjadikan konsep ini sangat
penting. Tidak diragukan lagi, mengapa Chittick bersikeras terhadap pentingnya
rehabilitasi pemikiran, karena ini berarti bahwa tradisi intelektual Islam
sedang menderita penyakit serius (h.42). Sebuah review singkat tidak bisa
memberikan keadilan untuk argumen penulis yang disajikan dalam tujuh bab. Tapi
untuk meringkas, bahwa empat bab pertama juga mendefinisikan apa bentuk
pengetahuan “intelektual” yang ada dalam Islam, terutama dalam kaitannya dengan
ilmu-ilmu yang ditransmisikan dalam teks-teks filosofis dan Sufi.
Karya ini diperkaya oleh beberapa ulama terkemuka seperti Seyyed Hossein Nasr,
yang berbagi perhatian dengan penulis mengenai hilangnya pandangan dunia Islam
tradisional, Allama Iqbal, Muhammad Arkoun dan penyair sufi, Rumi. Chittick
mengutip penyair besar Persia, yang dia anggap sebagai guru sejati dari tradisi
intelektual, mengingatkan kita pada keutamaan pikiran:
Saudaraku, kamu adalah pikiran itu.
Sebagian dari kamu hanyalah tulang dan serat.
Jika mawar adalah pikiran kamu, maka kamu adalah kebun mawar,
jika duri, maka kamu adalah bahan bakar tungku.
Jika air mawar, kamu akan diusapkan pada leher,
jika urin, maka kamu akan dibuang ke pembuangan.
Melalui pikiran, kemudian, berkesesuaian dengan roh ilahi yang
terletak pada inti kesadaran manusia. Ini adalah untuk memahami segala sesuatu
sebagaimana adanya, senada dengan ungkapan hadis: Allahumma ‘ārinil asyā’a kama
hiya (Tuhan, tunjukkan aku segala sesuatu sebagaimana adanya). Seperti
disebutkan sebelumnya tentang empat domain utama dari intelektual Muslim,
mereka terfokus pada kosmologi menyerupai apa yang kita sebut saat ini sebagai
“ilmu pengetahuan” (science). Di sini, semakin seseorang memberi perhatian pada
dunia luar -domain kosmologi- ia akan memperoleh wawasan lebih tentang dunia
internal, domain psikologi spiritual. Keduanya dipelajari untuk memahami jiwa
manusia. Tapi, apa yang menjadi jelas dalam dua alam ini adalah keterkaitannya
dengan pencarian intelektual. Sebuah kritik terhadap dogmatisme dan ideologi
adalah langkah yang diperlukan untuk memulihkan pemahaman yang tepat tentang
sifat manusia, dan ini beralasan.
Tiga pasal terakhir memberi perhatian lebih pada ajaran praktis yang sebenarnya
dari tradisi intelektual, berfokus pada relevansinya dengan pertanyaan
kontemporer dan makna dari ilmu pengetahuan. Bersama dengan tokoh Muslim
terkenal masa lalu yang disebutkan di atas, Chittick mengkritisi taqlīd dengan
mentalitas dogmatis dalam mempertanyakan sebuah pemahaman, sembari memberikan
keutamaan peran tahqīq, yang hanya melaluinya tauhid dapat dipahami. Baginya,
satu-satunya cara untuk memahami sesuatu adalah menemukannya melalui diri
sendiri, meskipun seseorang memerlukan bantuan orang-orang yang sudah tahu.
Selain itu, bagi Chittick, mengapa saintisme pada dasarnya palsu adalah karena
sarat dengan praduganya, meniadakan tauhid dan menegaskan takthīr (perbedaan).
Pada karyanya yang lain, Chittick mensyinalir pernyataan serupa bahwa jika
manusia mulai mengklaim bahwa “ilmu ilmiah” (scientific knowledge) adalah yang
paling sah, maka kita tidak lagi berhubungan dengan ilmu, melainkan hanya
berhubungan dengan saintisme.
Jika tauhid menegaskan Keesaan Tuhan, sebaliknya takhtīr menegaskan pluralitas.
Takthīr tanpa tauhid tidak bisa memberikan visi penyatuan. Ini akan menyangkal
secara implisit bahwa keberadaan memiliki tujuan, sehingga ia juga menolak
gagasan bahwa aspirasi manusia untuk mencapai perbaikan moral dan etika dan menjadi
sempurna secara intelektual dan spiritual yang memiliki landasan dalam realitas
objektif (h.46-47).
Hasil bersihnya adalah penyebaran pengetahuan manusia, pertumbuhan disiplin
ilmiah dan akademik, multiplisitas tujuan manusia, ketidaksepakatan yang
berlangsung terus menerus, perselisihan, disintegrasi dan korupsi. Meskipun
kaum muslim tidak melihat takthīr sebagai buruk semata, namun manusia harus
bisa keluar dari kebiasaan tersebut, menuju tauhid yang damai, imbang, harmonis
dan damai di dunia.
Akibatnya, semakin kita menekankan takthīr, semakin sedikit peran kita sebagai
manusia yang akan muncul untuk bermain dalam kosmos. Sebagai catatan Chittick,
para ilmuwan mengasumsikan kesatuan alam yang paralel dengan makna spiritual
dari tauhid, namun perbedaan utama adalah bahwa metode ilmiah tidak menerima
realisasi diri oleh seorang individu sebagai bukti yang cukup untuk realitas
fenomena.
Sebaliknya, jika kita menempatkan keutamaan pada tauhid sebagai penjelasan dari
realitas, maka karya ini akan menjadi bacaan yang menyegarkan, dan juga
menjawab pertanyaan yang disebutkan sebelumnya bahwa dalam tradisi intelektual,
tidak ada batas bagi potensi jiwa, karena tidak ada keberadaan yang tidak
diketahui oleh jiwa. Para filsuf berulang kali menyebut jiwa manusia “intelek
potensial” (aql bi’l quwwa) atau “intelek hylic” (‘aql hayūlāni). Dan mereka
juga menyebut aktualisasi intelek dengan istilah Qur’an “pembebasan” (najāt)
atau ‘kebahagiaan’ (sa’ādah). Tu Weiming, seorang filsuf Cina kontemporer
mengatakan hal senada, “Pembebasan berarti realisasi penuh dari realitas
antropokosmik yang inheren dalam diri kita”. Dengan kata lain, sebagaimana
adagium yang sangat terkenal, “mengetahui adalah menjadi”. Oleh karena itu,
tujuan dari pembelajaran adalah untuk mengetahui segala sesuatu yang mungkin
bisa diketahui. Jika kita tidak mencari pemahaman dengan cara yang benar, maka
tujuan akan tetap selamanya tak terjangkau.
Hanya saat mencapai aktualitas pengetahuan dalam inti terdalam
eksistensinya itulah, dapat dikatakan sebagai intelek dalam arti kata yang
paling tepat. Secara epistemologis, ini berarti bahwa kedirian manusia yang
sejati tidak dapat menjadi obyek pengetahuan yang ditransmisikan, melainkan
dengan pengetahuan tanpa perantara atau langsung. Melanjutkan pertanyaan
tentang pencarian makna, bahwa makna yang sesungguhnya tidak pernah bisa
ditangkap oleh dogma, teori, teorema atau bangunan mental lainnya, tetapi
melalui realisasi tauhid bagi diri sendiri dan dalam diri sendiri. Hal ini
menunjukkan seberapa kuat Chittick mencoba untuk tetap mengingatkan inti
kepercayaan tradisional agama.
Download ebook Kosmologi Islam dan Dunia Modern pdf via Google Drive:

Tidak ada komentar:
Posting Komentar