Judul Buku: Sketsa
Sejarah Filsafat Indonesia
Penulis: Ferry Hidayat
Penerbit: Tazakka Press
Tahun: 2022
Jumlah Halaman:
126
Buku ini merupakan buku penyerta (companion) bagi buku kami yang
lain Pengantar Menuju Filsafat Indonesia, yang
dimaksudkan untuk membuat suatu ikhtisar,
suatu ‘sketsa sejarah’ dari Filsafat Indonesia. Di dalam buku ini, penulis berupaya
mengungkapkan secara sederhana konteks sejarah yang melingkari pemikiran-pemikiran
filosofis yang diproduksi Indonesia dalam suatu skema sejarah
yang sekronologis mungkin. ‘Sekronologis mungkin’, maksudnya, penulis tidak
berniat menyusunnya dalam suatu kronologi yang kaku, dari tahun nol hingga tahun
2005. Penulis lebih menekankan pengungkapan tema-tema filosofis penting dalam
khazanah Filsafat Indonesia daripada kronologi yang kaku, lalu menyediakan
konteks sejarahnya. Itu agar filsafat lebih ‘membumi’ untuk kalangan awam,
yang sudah kadung yakin bahwa filsafat itu ‘melangit’, tidak lahir dari kejadian
dan kausalitas biasa yang terjadi di bumi ini. Penulis pun tidak berpretensi untuk
menganggap bahwa isi karya ini ‘benar-benar terjadi di masa lalu’, namun lebih
merupakan suatu interpretasi terhadap ‘masa lalu’ oleh seorang yang hidup sekarang.
Karya ini bukan bermaksud, meminjam istilah E.D. Hirsch, mencari meaning
(makna sesungguhnya) yang memang sudah tidak mungkin, melainkan mencari
significance (makna yang sekarang dipahami) untuk diidentifikasi jejak- jejak
kecilnya oleh manusia Indonesia sekarang. Lagipula, sejauh pengamatan penulis,
belum ada orang yang pernah menulis ‘Sejarah Filsafat Indonesia’ serupa ini.
Pembaca mungkin bisa merasa heran pada saat membaca ‘sketsa’ ini, terutama
ketika mata pembaca tertuju pada nama-nama tokoh Indonesia seperti Mohamad
Hatta, Tan Malaka, Soekarno, Aidit, Sutan Syahrir, Semaun, Alimin,
dan lain-lain yang telah dibaptis sejak lama sebagai ‘politikus’ dan ‘ideolog’, namun
disini kami cantumkan sebagai ‘filosof’. Penjelasannya begini: segala sesuatu
akan menjadi fenomena filosofis, jika ia dilihat, diamati, dan dikaji lewat ‘kacamata
filsafat’. Jadi, tergantung pada ‘kacamata’ apa yang dipakai. Jika anda memakai
‘kacamata politik’, maka semua obyek yang anda lihat akan menjadi gejala
politik. Jika anda memakai ‘kacamata filsafat’, maka semua obyek akan menjadi
gejala filsafat. Dan karena kami memakai ‘kacamata filsafat’ terhadap ‘tokoh-tokoh
politik’ itu, maka kesimpulan yang kami buat bukanlah ‘kesimpulan politik’,
tapi ‘kesimpulan filosofis’. Dengan ‘kacamata filsafat’,kami dapat lebih leluasa
dan lebih bebas, misalnya, dalam mengapresiasi filsafat-filsafat Soekarno,
Soeharto, Syahrir, Tan Malaka, dan lain-lain daripada dengan memakai ‘kacamata politik’.
Kami juga menggunakan ‘kacamata filsafat’ dalam memandang Islam, Buddhisme,
Hinduisme, Katolikisme, Protestantisme, Konfusianisme—sejumlah kata-kata
yang kadung dinamai sebagai ‘agama’, yakni sejenis pengetahuan yang satu
tingkat lebih tinggi daripada sains atau filsafat. Kami dibesarkan dalam atmosfir
dan miliu Islamik, tapi terakhir kami menginsafi bahwa Islam tidak lain adalah
juga setingkat dengan filsafat. Muhammad memang menerima wahyu dari Tuhan,
tapi kemudian wahyu itu diterjemahkannya dalam konteks Arab sehari-hari, sehingga wahyu
telah bercampur dengan Arabisme. Sekarang sulit untuk memilah-milah mana Islam
yang asli wahyu dan mana yang asli Arab. Islam yang asli wahyu
kini hanya Tuhan yang Maha Tahu. Sedangkan Islam yang dipahami Muhammadlah
yang sekarang berkembang. Islam yang dipahami Muhammad inilah
yang kami pahami sebagai setingkat filsafat, karena telah diperantarai oleh akal-budi
Muhammad. Begitu pula pemahaman kami dengan ‘agama-agama’ selain
Islam.
Ada beberapa faktor yang sering diabaikan dalam pengkajian
Filsafat Indonesia, seperti ‘faktor
internasional’ dan ‘faktor Cina’. ‘Faktor internasional’ berguna
untuk menunjukkan posisi Filsafat Indonesia dalam lingkup sejarah filsafat sedunia,
sehingga nampak jelas perannya dalam ruang historis pemikiran sejagat.
Misalnya, kajian sejarah India atau sejarah Arab sangat membantu
untuk memahami secara lebih jelas konteks filsafat
Sambhara, Mpu Prapanca, dan Mpu Tantular;
kajian sejarah Arab amat membantu dalam memahami konteks filsafat Hamzah
Al-Fansuri, Teungku Imam Bonjol, atau Syekh Thaher Djalaluddin; kajian sejarah
Barat amat membantu memahami lebih baik konteks filsafat Tan Malaka, Semaun,
Soekarno, atau Hatta. Sedangkan ‘faktor Cina’ berguna untuk menginsafi bahwa
kaum Cina (terutama Cina peranakan) telah pula memberikan kontribusi filosofisnya
dalam perjalanan sejarah Filsafat Indonesia. Misalnya, kajian sejarah Cina
Modern amat membantu dalam memahami konteks anti-Konfusianisme dalam
filsafat Kwee Hing Tjiat.
Download ebook Sketsa Sejarah Filsafat Indonesia pdf via Google
Drive:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar