Judul Buku: Boekittinggi Tempo Doeloe
Penulis: Zulqayyim
Penerbit: Andalas University
Press
Tahun: 2006
Jumlah Halaman: 156
Pertama sekali saya ingin memberikan apresiasi
terhadap buku yang ditulis oleh sdr. Zulqayyim ini, atas pilihannya untuk
memaparkan fenomena sejarah sebuah kota pedalaman Minangkabau di masa lalu.
Kota yang kita ketahui banyak memainkan peranan
semenjak masa kolonial Belanda, masa Jepang, bahkan setelah Indonesia merdeka.
Proses perkembangan Pakan Kurai yang kemudian menjadi kota Bukittinggi, oleh
penulis, dideskripsikan dengan narasi yang sangat menarik untuk dibaca. Ketika
saya menyimak paragraf-paragraf yang dibangun oleh penulis pada halaman demi
halaman, saya tidak menyadari bahwa saya sudah sampai pada paragraph-paragraf
akhir narasi historisnya, bahkan karena “sangat menikmati” saya lupa bahwa saya
harus memberikan ulasan terhadap buku ini. Ini tentu merupakan salah satu
indikasi keberhasilan sebuah pengungkapan sejarah, di mana penulis, mampu
mengajak pembaca untuk “masuk” dan menikmati “wisata” masa lalu.
Setelah menyadari sejenak atas keharusan memberikan
telaahan terhadap buku ini, saya kembali membaca beberapa item yang sebenarnya
sudah dilalui.Saya memulainya dari pokok pikiran yang tertuang pada bentangan
bab-babnya dan kaitan bagian dengan keseluruhan karangan. Ketika itulah terasa
bahwa ada satu pertanyaan yang mengganggu saya, yaitu apa yang sebenarnya ingin
dijelaskan dari pemaparan sejarah kota Bukittinggi ini?. Setidaknya ada tiga
tendensi pokok yang menurut saya ingin dikemukakan penulis pada buku ini,
pertama : proses terbentuknya kota dalam aspek topografis, morfologis, dan
demografisnya, kedua, tentang peran Bukittinggi dalam berbagai perkembangan
sejarah secara makro, dan ketiga aspek perubahan-perubahan sosial dan budaya
yang terjadi sebagai implikasi perubahan pranata sosial tradisional nagari
menjadi kehidupan perkotaan.
Dalam penulisan sejarah, pembatasan kronologis dan
geografis sangat penting untuk kedalaman analisis, namun pembatasan tematis
tentu lebih penting lagi, karena selain untuk kedalaman analisis juga sangat
menentukan perspektif yang akan digunakan. Seringkali luasnya aspek tematis
suatu penulisan menuntut banyaknya variabel yang dimunculkan dalam pembahasan.
Hal ini pada gilirannya menyebabkan mainstream tulisan cendrung kehilangan
arah. Kecendrungan ini juga terlihat dari buku ini. Empat bab selain bab
pendahuluan dan epilog, masing-masing mewakili satu variable dan semuanya
masing-masing berdiri sendiri-sendiri, paling tidak, pada bab empat dan lima.
Bila proses terbentuknya kota Bukittinggi, masih dapat dipahami dalam kaitannya
dengan latar sosial budaya dan ekonomi, maka variable pendidikan dan peran kota
ini dalam pergerakan nasional menjadi kehilangan konteks.
Tanpa bermaksud memberikan koreksian atas buku ini, pada
kesempatan sharing ini saya hanya akan menawarkan sebuah alternatif perspektif
yang mungkin perlu dipertimbangkan dalam melakukan analisis terhadap kota
Bukittinggi, yaitu perspektif analisis dalam kerangka budaya masyarakatnya
(emic approach). Pendekatan ini, paling tidak, dapat melengkapi penjelasan
strukturalisme historis yang telah dikemukakan pada buku ini.
Penulis buku ini telah mengawali deskripsi sejarah
terbentuknya kota Bukittinggi dengan mengemukakan latar belakang sosial dan
budaya. Saya semula berharap bahwa pada bab ini terdapat gambaran tentang
bagaimana kehidupan masyarakat dan budaya di nagari Kurai sebelum menjadi
“kota” Bukittinggi. Bila struktur sosial masyarakat Kurai telah dikemukakan
dengan baik, maka tidak demikian halnya dengan latar budaya masyarakatnya. Apa
yang disebutkan terakhir ini, menurut saya, cukup penting. Proses menjadi kota,
setidaknya untuk kasus Bukittinggi, perlu diberangkatkan dari penelusuran aspek
budaya itu, karena Bukittinggi, selain menjadi bagian dari sebuah budaya besar
Minangkabau, wilayah ini juga dikenal oleh masyarakat Minang sendiri
sebagai Koto Rang Agam.
Sebutan Koto, tidak dapat sekedar dipahami sebagai tahapan
perkembangan proses terbentuknya nagari baru, namun secara kultural, Koto Rang
Agam lebih menggambarkan konsep “ruang budaya” dimana transaksi budaya berbagai
komunitas nagari-nagari berlangsung di dalamnya. Sebutan ini juga sekaligus
merupakan simbol bagi pemersatuan Agam dan Bukit-tinggi. Antara kedua wilayah
ini tidak begitu saja dapat “dipisahkan”, karena kuatnya kesalingtergantungan
keduanya dalam berbagai aspek, terutama ekonomi. Penetapan Bukittinggi sebagai
sebuah ¬gemeente oleh
Belanda tahun 1918 dan kemudian pada tahun 1930 dianggap merupakan sebuah
pengingkaran budaya (Sayangnya dalam buku ini penulis tidak melengkapi gambaran
bagaimana taktik Belanda atas reaksi masyarakat Kurai yang memprotes kebijakan
Belanda atas tanah mereka pada tahun 1906. Belanda memperhadapkan penghulu
Kurai dengan masyarakat Agam Tuo, suatu taktik pemecah belah untuk keuntungan
Belanda). Karena itu pula, keluarnya PP No. 84 tahun 1999 yang tidak lebih dan
tidak kurang sama konyolnya dengan keputusan Belanda menjadikan gemeente, telah mengundang pro dan
kontra berkepanjangan seputar masalah pemekaran kota Bukittinggi baru-baru ini.
Adat Minangkabau telah mengatur secara ketat tentang
wilayah-wilayah kultural secara bertingkat yang sekaligus menunjukkan pembagian
properti dan kewenangan, di mana otoritas tertinggi ada pada nagari. Selain
itu, otoritas nagari yang otonom (adat salingka nagari) juga mengatur tentang
tatacara masuknya unsur-unsur luar ke dalam suatu wilayah nagari secara adat.
Dari aspek inilah yang agaknya perlu penelusuran tentang proses perkembangan
nagari Kurai menjadi Koto Rang Agam. Dalam struktur kepemimpinan adat di
Bukittinggi tempo dulu, ada sebutan Penghulu Dagang di luar kepemimpinan
penghulu pucuk di nagari Kurai. Penghulu dagang mempunyai otoritas tersendiri
di lingkungan para pendatang. Mereka layaknya penghulu-penghulu suku yang
memiliki kewenangan dan properti tersendiri. Terdapatnya apa yang disebut
dengan Surau-Surau Dagang seperti Surau Dagang Balingka (yang kini menjadi
Masjid Raya), Surau Banuhampu di Aur Tajungkang dan lainnya, tentu ada
kaitannya dengan struktur kepemimpinan ini. (lihat : Taufik Abdullah dan S.
Budhisantoso, 1983 : 29)
Perspektif struktural yang digunakan oleh penulis dalam
melihat perkembangan kota Bukittinggi ternyata dalam beberapa hal telah
memberikan prakonsepsi kepada penulis untuk memposisikan Bukittinggi sebagai
kota dalam perspektif kolonial, sehingga pada saat menjelaskan tentang
bagai-mana kepemilikan kota Bukittinggi tidak semakin mempersempit jurang
pertikaian antara masyarakat Kurai dengan Agam. Menurut saya, penjelasan
kultural terhadap permasalahan yang menyangkut status Bukittinggi bagi orang
Agam sangat mungkin dapat menjadi solusi bagi masalah pemekaran kota
Bukittinggi yang hingga saat ini masih saja menghangat.
Menyangkut variabel ekonomi, Lewis Mombard pernah
menyebutkan bahwa ekonomi membawa masuk unsur-unsur modernisasi yang sangat
berperan melahirkan kota (Lewis Mombard, 1950 : 120-121). Modernisasi
ditunjukkan oleh struktur kehidupan yang makin kompleks, baik secara fisik
maupun pranata-pranatanya. Kompleksitas ini melahirkan difirensiasi lapangan
kerja. Menurut Mombard difirensiasi dan spesialisasi menjadi faktor penting
meningkatkan mobilitas sosial perkotaan. Selain faktor ekonomi, terbentuknya
kota juga ditentukan oleh faktor politik, sebagaimana kita lihat dengan
munculnya kota-kota sebagai pusat pemerintahan jajahan. Namun terkait hal ini,
penulis tidak menyimpulkan hubungan yang jelas antara mobilitas sosial vertikal
di Bukittinggi dengan variable pendidikan yang dijalankan oleh pemerintah
Belanda, meskipun bahasan tentang pendidikan kolonial di Bukittinggi sudah
menempati bab tersendiri pada buku ini.
Dalam kaitannya dengan mobilitas sosial vertikal sebagai
gejala perkotaan akibat difirensiasi dan spesialisasi lapangan kerja, secara
umum memperlihatkan bahwa ternyata pendidikan tidak menjadi faktor akselerasi
yang signifikan di masa kolonial. Menurut Sartono Kartodirdjo, mobilitas
vertikal berjalan relatif lambat akibat dualisme persekolahan yang didasarkan
atas diskriminasi rasial serta realitas penjajahan itu sendiri (Sartono
Kartodirdjo, 1999 : 75-76). Itu artinya bahwa meningkatnya lulusan sekolah
tidak selalu berbanding lurus dengan terjadinya mobilitas vertikal. Suatu
implikasi kultural lainnya yang perlu dipertimbangkan di sini sebagai akibat
munculnya sekolah-sekolah Belanda itu adalah terbentuknya suatu strata sosial
baru dari kalangan pribumi yang makin memisah dari akar tradisi mereka.
Semenjak sebelum kedatangan Belanda, selain strata
bangsawan dari kalangan adat, jaringan pendidikan tradisional telah pula
menempati peran ideologis dalam perubahan sosial. Elit sosial dari kalangan
agama yang muncul dari sistem pendidikan tradisional ini telah menempati strata
tersendiri dalam masyarakat di nagari-nagari sekitar Bukittinggi dan
pengaruhnya bahkan melintasi batas-batas nagari mereka sendiri. Analisis
terhadap kota Bukittinggi, tentu memerlukan penjelasan yang memadai dari ketiga
strata yang disebutkan itu, bila dikaitkan dengan acuan kultural Bukittinggi
sebagai Koto Rang Agam, apalagi dalam menemukan hubungan antara beberapa variabel
yang ditawarkan pada buku ini.
Terakhir, fakta-fakta tentang Bukittinggi tempo dulu yang
disajikan oleh penulis pada buku ini telah memperkaya wawasan kita tentang
sejarah kota pedalaman (inland city), suatu unit kesejarahan yang selama ini
belum banyak disentuh. Sementara apa yang dapat saya kemukakan pada kesempatan
ini, saya harap ada manfaatnya.
Download ebook Boekittinggi Tempo Doeloe pdf via Google Drive:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar