Judul Buku: Being Heidegger and Time Not
to be Heideggerean
Penulis: Martin Heidegger
Penerbit:
Bukurasi
Tahun:
2020
Jumlah
Halaman: 113
Dalam Oxford English
Dictionary dideskripsikan bahwa hermeunetik adalah “seni atau ilmu interprestasi,
contohnya interprestasi Alkitab.” Istilah itu kemudian mempunyai arti yang
lebih khusus pada tahun 1920-an dalam bidang filsafat dan kritik sastra.
Hermeunetik sendiri sebenarnya mempunyai makna yang searti dengan exegesis
apabila istilah ini dikaitkan dalam interprestasi isi Alkitab. Hermeunetik
selalu dikaitkan dengan Being and Time yang ditulis oleh Martin Heidegger,
seorang filsuf Jerman, yang dipublikasikan pada tahun 1927. Martin Heidegger
menyatakan bahwa kritikus melihat spektrum yang lebih luas dari elemen-elemen yang membentuk
setiap karya dan konteksnya secara utuh dengan cara menempatkan pada konteks
sastra, sosial, kebudayaan dan politik kritikusnya. Pandangan ini oleh Gadamer,
yang merupakan murid Martin Heidegger, disebut sebagai “fusi horison”.
Adanya kompleksitas antara
ktitikus dan karya “memaksakan” terjadinya sebuah dialog dan percakapan yang
berkesinambungan. Selama terjadinya proses hubungan antara kritikus dan karya
ini, kritikus harus mampu meneliti atau menggali dirinya sendiri termasuk
didalamnya memahami dalam upaya untuk membuat satu kebenaran dari asumsi-asumsi
tersembunyi serta kemudian mengungkapkannya. Pekerjaan ini harus dilakukan
dengan teliti dan sama telitinya dengan realitas karya sastra yang diteliti itu
sendiri. Martin Heidegger sendiri berpendapat bahwa kondisi sebagai manusia
dalam arti yang sebenarnya lebih penting daripada dirinya sendiri (manusia)
yang berperan sebagai kritikus sastra. Pernyataan ini melibatkan dan menjadikan
sebuah pertanyaan yang tak pernah berhenti pada batas-batas interprestasi.
Martin Heidegger, melalui
karyanya, menyatakan bahwa realitas dan fakta sebagai manusia lebih penting
dari peran sebagai kritikus sastra yang melibatkan pertanyaan yang tidak pernah
berhenti yang membatasi interprestasi. Seorang filsof Perancis, Paul Ricour
telah menguji adanya “pertemuan” antara hermeunetik dan fenomenologi serta
bagaimana filsafat menyampaikan dan meramalkan satu sama lain.
Being and Time merupakan sebuah judul buku karya Martin Heidegger. Dalam menetapkan kebenaran-kebenaran yang umum ia menguji struktur-struktur umum pengalaman dan mengaplikasikannya dalam permasalahan realitas kemanusiaan. Dalam hal ini ia mengembangakan suatu metode filsafat fenomenologi yang diajarkan oleh gurunya, Edmund Husserl. Perhatian utama Heidegger adalah ontologi yaitu studi mengenai ada (being). Heidegger didalam bukunya Being and Time mencoba mencari kebenaran akan ada (being: Sein), khususnya manusia (human being: Dasein) dengan menggabungkan dua pendekatan filsafat eksistensialisme Soren Kierkegaard dan Friedrich Nietzsche serta fenomenologi Husserl.
Di dalam Being and Time Martin Heidegger menuliskan bahwa manusia telah
dilemparkan pada suatu dunia yang tidak mempunyai makna dalam dirinya sendiri,
dalam hal ini ia menyebutnya sebagai Dasein atau berarti “berada disana”
(bahasa Inggris : being there). Dengan demikian menjadi tugas manusia untuk
memberikan makna pada dunia melalui pencapaian eksistensi yang otentik, sesuatu
yang mentransendensasikan keterbelengguan pada fakta-fakta kehidupan sehari
–hari yang membutakan manusia pada kebenaran yang ada pada dirinya sendiri.
Keotentikan, menurut Martin Heidegger meliputi kesadaran akan waktu dimana
manusia mengartikannya sebagai sebagai proses kemunculan dari yang tidak ada
dan bergerak menuju kenihilan kematian. Penerimaan akan nasib yang seperti ini
memberikan kemerdekaan pada individu, peneriman akan nasib seperti ini juga
memberikan makna pada kehidupan manusia.
Pemikiran-pemikiran Martin Heidegger yang ada dalam Being and Time sebenarnya tidak sepenuhnya baru, seperti yang sudah dituliskan diatas bahwa pada dasarnya pemikiran itu merupakan sebuah penggabungan antara dua pendekatan filsafat yaitu filafat eksistensialis Soren Kierkegaard dan Friedrich Nietzsche serta fenomenologi-nya Husserl. Penggunaan metode fenomenologi oleh Heidegger bertujuan untuk menetapkan kebenarann universal dengan menguji struktur esensial pengalaman dan mengaplikasikannya pada persoalan pengalaman manusia. Memahami ontologi dan fenomenologi menjadi sangat penting sebelum masuk kepada pembacaan dan pemahaman pemikiran Martin Heidegger dalam Being and Time.
Pemikiran Martin Heidegger yang ada dalam Being and Time seringkali dianggap sebagai sebuah kemuraman dan bersifat nihilisme karena Martin Heidegger menekankan pada penderitaan dan kematian. Martin Heidegger memberikan fokus perhatian pada aspek-aspek semacam ini karena hal ini dianggap memberikan penjelasan yang nyata terhadap realitas “ada” (being) yang melekat pada diri manusia. Being (ada) diungkap melalui pengalaman secara dramatis yang menunjukkan bahwa ada celah antara “ada” dan yang “tidak ada”.
Pengalaman yang terdalam semacam ini merupakan refleksi kemungkinan dari “ada
(being) yang tidak dimiliki oleh manusia” yaitu kematian. Untuk itu
“kemungkinan yang mustahil” semacam ini menyingkapkan keterbatasan manusia
sebagai mahluk hidup baik itu keterbatasan dan dorongan untuk hidup. Masa depan
kematian berfungsi sebagai sebuah kondisi yang radikal bagi kemungkinan
pengalaman manusia dan dengan demikian memberi keotentikan pada manusia.
Keotentikan itu melibatkan kesadaran akan waktu, yang bagi manusia, waktu
adalah suatu proses kemunculan dari yang tidak ada menuju kepada nihilisme
kematian. Penerimaan nasib semacam ini mengubah pandangan akan kemerdekaan
individual dan memberi arti pada kehidupan seseorang. Salah satu ajaran
mendasar eksistensialisme, Being and Time membawa pengaruh yang besar pada
pemikiran di Eropa abad ke-20.
Pada pertengahan tahun
1930-an pemikiran Heidegger mengalami sedikit perubahan. Dalam tulisannya yang
kemudian Heidegger beralih dari pembahasan mengenai pengalaman manusia kepada
“alam ada”. Dia juga menekankan pada adanya dekadensi dunia modern dimana dia
berpendapat bahwa kemanusaan “telah keluar dari ada” (being), pendapat ini
didasarkan pada rujukannya pada filsafat Yunani. Pada pemikiran pra Socrates
khususnya Parmeides, Heidegger menemukan hanya satu pemahaman yang jelas
mengenai being. Pada masa Aritoteles pemahaman semacam itu hilang karena
penekanan pada realitas manusia sebagai ciptaan yang rasional (rational
creatures). Heidegger meletakkan penekananan tertentu pada bahasa sebagai alat
dimana manusia dapat mengcounter kembali being dan menekankan pada peran khusus
puisi drama dan fungsi bahasa. Satu hal yang dapat dicapai oleh Heidegger dalam
puisi adalah sebuah bukti mengenai pujian serta pendapat-pendapatnya pada seorang
penyair Jerman Friedrich Halderlin. Heidegger juga mampu menemukan kata-kata dengan makna yang
bermacam – macam dari akar etimologisnya. Idiosyncratic (suatu karakteristik
struktur atau karakteristik perilaku yang aneh pada seseorang atau kelompok)
Heidegger, serta penggunaan bahasanya dan kadang irama quasi-mistisnya sering
dianggap sebagai penghalang dalam memahami filsafat Heidegger.
Namun demikian banyak
konsep yang diperkenalkan oleh Heidegger menjadi sangat umum saat ini contohnya
mengenai pentingnya upaya pada pencapaian eksistensi otentik dalam menghadapi
massa anonim dalam pelbagai tingkatan, arti pentingnya intensi, pengalaman yang
bersifat signifikan-terbuka (significance-disclosing) dan kesulitan
pendeskripsian gambaran dasar eksistensi manusia.
Download ebook Being Heidegger and Time Not to be
Heideggerean pdf via Google Drive:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar